Oleh: Abd Basid
Semut. Ketika terlintas kata semut, mungkin yang muncul di benak
kita adalah citranya yang selalu mengganggu. Sering gula kita yang
disimpan di dapur dihinggapinya dan bahkan menggigit kita ketika kita
sedang enak-enaknya duduk atau tidur. Padahal pada hakikatnya, semut
merupakan makhluk yang sangat terampil, sosial, dan cerdas. Makhluk
mungil ini, yang (mungkin) tidak pernah dianggap penting dalam kehidupan
kita sehari-hari.
Tuhan dalam menciptakan sesuatu pasti tidak rasianya. Namun, kadang
kita tidak mengetahuinya. Seperti itu juga semut. Semut secara sekilas
memang tidak ada gunanya hidup di sekeliling kita—mungkin karena semut
merupakan makhluk kecil dan tak tenar. Namun, kalau kita mau berfikir
dan merenungi akan kebaradaannya, maka kita akan menemukan pelajaran
berharga darinya.
Dalam al-Quran, mereka yang berpikir tentang alam sehingga mengenali
kemahakuasaan Allah, dipuji sebagai teladan bagi orang beriman. Allah
berfirman dalam al-Qur’an yang artinya; “Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi dan silih ber-gantinya malam dan siang, terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring,
dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci
Engkau. Maka, peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. 3: 190-191).
Berbicara soal semut, maka banyak yang dapat kita ambil hikmah
darinya. Kita bisa belajar berperilaku seperti halnya semut-semut yang
sering kita lihat dalam keseharian. Diantaranya:
Pertama, membiasakan
salam dan saling menghormati. Kalau kita melihat semut yang sedang
berpapasan, maka kita akan menemukan antara semut dengan semut yang
lainnya seakan-sekan menunduk berbisik antara satu sama lainnya. Semua
itu menggambarkan betapa terbudayanya saling menghormati di dunia semut
dengan saling sapa ketika mereka berpapasan. Kalau pada budaya kita,
mungkin bisa dianalogikan pada ufsus salam.
Kedua, kekompakan. Tidak ada ceritanya seekor semut bertikai dengan
sesamanya. Ketika mereka menemukan makanan, dengan tanpa ada komando
mereka akan mengabari pada yang lain dan menggotongnya bersama-sama.
Mulia sekali.
Ketiga, rajin. Selama masih ada proyek, entah itu ketika mencari
makanan atau sejenisnya, semut tidak akan berhenti untuk hanya
istirahat. Pernahkah kita melihat semut itu tidur atau diam? Jarang kita
menemukannya—kalau tidak mau dikatakan tidak ada.
Keempat, rajin menabung. Sering kita temukan segerombolan semut
menggotong bersama makanan yang mereka temukan. Hal itu menunjukkan
betapa rajinnya mereka menabung untuk masa depan mereka selanjutnya.
Pepatah “menabung pangkal kaya” juga ada pada dunia semut.
Jika dikaitkan dengan kita, maka menabung di sini tidak hanya terpaku
pada uang atau urusan dunia. Akan tetapi, juga termasuk menabung untuk
hari akhirat kita. Sudah menabungkah kita?
Rasulullah bersabda;
“bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selama-lamanya, dan
bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok” (H.R. Bukhari).
Kelima, pantang menyerah. Semut bergerak 24 jam sehari. Kecepatan
berjalan semut, 0,5 km/jam dengan volume yang 1/130, maka kecepatan
semut seukuran manusia adalah 80km/jam. Dalam berduel semut mampu
mengimbangi binatang atau serangga musuh 5 kali lebih besar dari dirinya
(kecuali lebah, laba-laba dan lipan).
Ada sebuah cerita yang penulis kutip dari situs
www.christiananswers.net, bercerita tentang perjuangan seekor semut,
yang dikutip dari “Lessons from Nature for Youth”-Original: 1836 dan
diterjemahkan oleh: Linda S. Alkisah, pada suatu ketika, seorang
kesatria pemberani yang bernama Timour the Tartar terpaksa lari dan
berlindung dari kejaran musuh-musuhnya dalam sebuah bangunan yang sudah
runtuh. Berjam-jam lamanya dia duduk sendirian di tempat tersebut.
Sampai pada suatu ketika timbul keinginannya untuk kembali bangkit dan
menghilangkan pikiran serta rasa tidak berdaya, dia mengalihkan
perhatian pada seekor semut yang berusaha mengangkat sebutir jagung
berukuran besar, lebih besar dari badan semut itu sendiri, naik ke atas
dinding. Tampaknya usaha semut itu mengalami kegagalan. Lagi dan lagi,
semut itu berjuang sekuat tenaga mengangkat sebutir jagung dan ternyata
gagal lagi. Tapi semut tidak berputus asa, dia mencoba lagi dan 69 kali
Timour melihat butir jagung itu jatuh kembali ke tanah.
Pada hitungan
yang ke-70 akhirnya semut berhasil mengangkat butir jagung itu sampai ke
puncak dinding. “Dan rupanya, kata kesatria pemberani yang sebelumnya
sempat merasa sangat putus asa, hal ini memberikan rasa keyakina kepada
saya dan saya tidak akan pernah melupakan pelajaran yang sangat berharga
ini”.
Dari cerita di atas bisa kita ambil hikmah, bahwa dalam kita
melakukan dan memperjuangkan segala sesuatu—yang pasti hal positif, dan
umpamanya atau ternyata kita gagal, maka kita harus selalu mencoba dan
mencoba lagi, dan tetap bertekun sampai pekerjaan tersebut berhasil.
Jika seekor semut tidak berkecil hati dengan kegagalan sebanyak 69 kali,
kenapa manusia harus berkecil hati?
Sekarang, sudahkan kita berperilaku seperti semut, seperti yang telah
disinggung di atas? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing!
[Abd. Basid, pengasuh situs; http://lingkaran-koma.blogspot.com.
Aktif sebagai jurnlis Ikatan Mahasiswa Alumni Bata-Bata (IMABA) wilayah
Surabaya.]




16.56
Unknown
Posted in: 















0 komentar:
Posting Komentar