Dulu, saya sering sekali mendengar ucapan orang yang diucapkan dengan
nada slenge’an. Ungkapan itu berbunyi: “Bisnis ya bisnis, teman ya
teman…” Ucapan itu disampaikan saat seorang rekan menawar harga barang
yang ditawarkan oleh rekan yang lain. “Kok mahal amat? Kita kan udah
lama berkawan, diskon yang gede doong,” ujar rekan yang satu. Sambil
meringis, rekan satu lagi segera menyahut, “Aku kan beli ini bukan pakai
uangmu kawan, dan bukan pula dibayar dengan perkawanan. Tapi, murni
pakai uang…”
Kadang, kita memang menemukan kondisi seperti kisah rekan saya di
atas. Karena alasan pertemanan, sebuah bisnis atau usaha, bisa berjalan
lancar, tapi juga sebaliknya. Kalau lancar, kadang orang kemudian
mengindikasikannya dengan nepotisme. Kalau tidak lancar, kadang bisa
merusak persahabatan. Nah, serbasusah kan?
Belakangan, saya getol memaksimalkan potensi orang-orang yang ada di
sekeliling saya untuk membantu melancarkan usaha. Dalam artian positif
tentunya. Rekan yang bisa urusan desain, saya maksimalkan potensinya
untuk menggarap pekerjaan yang berbau desain grafis, mulai dari bikin
iklan, brosur, hingga ke banner dan poster. Yang jago menulis, saya
kerahkan untuk menulis di beberapa website dari klien-klien saya.
Kemudian yang jago web dan program, saya serahi pula tanggung jawab
untuk mengerjakan beberapa karya untuk klien-klien saya.
Sampai di sini, semua tak ada masalah. Semua senang. Saya mencarikan
order dan proyekan, dan mereka mendapat banyak tambahan penghasilan
tanpa harus pontang-panting mencari orderan pekerjaan. Klop! Maka, tak
heran, sekian tahun lamanya, usaha ini berjalan makin mulus. Semua
terpuaskan. Dari sisi klien saya pun, mereka merasa mendapatkan layanan
yang cepat dan handal, serta tentunya berkualitas. Sebab, untuk satu hal
ini—soal kualitas—saya bisa jadi seorang yang cukup galak.
Tapi, tahukah Anda, bahwa proses menjadi galak itu tak gampang loh.
Dan, inilah yang akan saya bagikan kepada Anda sekalian. Saat awal
menjalani bisnis jasa ini—saya bergerak di bidang jasa komunikasi,
penulisan, dan event—semua memang tampak berjalan mulus-mulus saja.
Rekanan yang saya dan istri pilih, mampu memberikan hasilnya yang
maksimal. Dari soal desain, tulisan, hingga ke event yang kami kerjakan,
seolah berjalan normal dan nyaris tak ada gesekan.
Padahal, sesungguhnya, me-manage orang lain—apalagi sudah kenal akrab
dan dekat itu kadang susahnya minta ampun. Mau dikerasi, takut merusak
persahabatan. Terlalu lembut, kadang justru melenakan. Nah, mencari
jalan tengah inilah yang kadang perlu manajemen diri dan emosi yang
mumpuni.
Pernah, suatu ketika ada klien yang komplain tentang hasil pekerjaan
yang dilakukan. Seharusnya, ini hal yang biasa. Bukankah kritik dan
masukan itu justru bagus untuk perbaikan? Tetapi, jika kemudian hal ini
menyangkut dengan profesionalitas kerja rekanan yang sudah dekat (baca:
sangat dekat) dengan kita, kadang untuk menyampaikan hal ini menjadi
sulit. Sungkan, tak enak hati, takut merusak pertemanan, semua hal ini
menjadi kendala yang jika tak segera diatasi, justru akan merusak
pertumbuhan usaha itu sendiri.
Nah, berkaitan dengan hal ini, ada beberapa hal yang pernah kami
lakukan. Barangkali, ini akan berguna juga bagi yang mengalami masalah
yang sama.
1. Buat perjanjian hitam di atas putih. Meski teman dekat, adanya perjanjian tentang hak dan kewajiban yang tertulis dan disepakati bersama akan lebih memudahkan bagi kita jika kelak ada masalah.
1. Buat perjanjian hitam di atas putih. Meski teman dekat, adanya perjanjian tentang hak dan kewajiban yang tertulis dan disepakati bersama akan lebih memudahkan bagi kita jika kelak ada masalah.
2. Sejak awal, pisahkan antara urusan pekerjaan dan pertemanan. Sepakati
pula hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh dilanggar dalam kerja sama
yang dilakukan.
3. Tegaskan porsi tanggung jawab masing-masing dalam kerja sama
tersebut. Ini berguna untuk membatasi ranah-ranah pribadi yang mungkin
saja akan banyak bersinggungan dalam proyek bersama tersebut.
4. Sepakati benar soal hak dan kewajiban. Ini menyangkut juga tentang
porsi pembagian hasil kerja. Kadang, urusan uang bisa jadi masalah jika
tak ada batasan yang jelas sejak awal. Banyak kasus terjadi, saat untung
kecil masih tak ada yang peduli, namun begitu besar, jadi berkelahi.
Nah, Anda tak ingin itu terjadi bukan?
5. Beranikan diri untuk marah, demi kebaikan bersama. Kadang, saat ada
masalah, karena alasan pertemanan, yang harusnya diperbaiki, jadi
berlarut-larut karena tak ada yang berani mengoreksi.
Ada satu trik yang
saya lakukan untuk mengatasi hal ini jika sampai (terpaksa) terjadi.
Saya dan istri akan bertukar posisi untuk memarahi. Misalnya, saat yang
perlu dikoreksi adalah rekan atau sahabat saya, maka jatah istri sayalah
yang akan menegur. Begitu juga sebaliknya. Dengan begitu, rasa sungkan
akan bisa lebih diminimalisir.
Setiap orang punya cara dan triknya masing-masing untuk mengatasi
masalah dengan rekan usaha yang juga sahabat dekat. Tapi sebenarnya,
yang penting lagi adalah komunikasi yang intens dan keberanian untuk
bertindak profesional dalam segala situasi. Cara inilah yang menurut
kami justru paling tepat untuk mengatasi perjalanan usaha bersama
teman-teman hingga saat ini. Nah, bagaimana dengan Anda? [Agoeng Widyatmoko adalah penulis buku laris 100 Peluang Usaha. Ia kini juga menjadi konsultan usaha kecil keluarga dan UMKM.]




16.22
Unknown
Posted in: 















0 komentar:
Posting Komentar