Seorang sahabat lama curhat kepada saya tentang perkawinan. Gara-garanya
dia enggak tahan saya tanya terus, “Kapan kamu menyusul kami-kami yang
udah married?” Setelah komentar pujian, ucapan terima kasih, pengantar,
dan pendahuluan di sana-sini, akhirnya sampai juga ke “isi buku”
sebenarnya. Ternyata, sahabat saya ini bukannya tidak ada penggemar
berat atau calon pendamping yang serius. Tetapi, hasil bacaan saya lho
ya, persoalannya lebih disebabkan oleh beberapa hal yang sepintas tampak
sangat sepele.
Rupanya, sahabat ini ragu dengan “dunia rumah tangga” yang tidak dia
kenal. Seperti biasa, informasi dari sana-sini begitu memengaruhi. “Ntar
kalau sudah punya suami, wah… ribet mengurus anak dan suami,” begitu
katanya, sembari membandingkan betapa kenyamanan berlebih yang dia dapat
bersama keluarganya. Zona nyaman dan “daerah antah berantah” itu
mungkin saja sangat memengaruhi sahabat saya ini, sekalipun saya menduga
pastilah ada faktor-faktor lain yang ikut berperan.
Tetapi okelah, apa pun itu faktor-faktor lainnya, saya jadi teringat
dengan curhatan teman-teman saya yang lain, namun dalam dimensi yang
lain juga hehehe… Maksudnya, ranah wiraswasta dan kepenulisan. Ternyata,
saya juga temukan persoalan yang sama. Manakala orang mau memasuki
“dunia baru”, persoalan zona nyaman dan medan yang tidak dikenal itu
sebegitu mengganggunya. Banyak “hantu” bergentayangan di sekeliling
ketiga hal di atas; perkawinan, wiraswasta, dan kepenulisan.
Apa saja itu? Simak hasil duga-duga saya berikut ini.
Pertama, selalu ada hantu modal. Sahabat yang pingin menikah tapi
belum juga terlaksana, sering mengeluhkan ini; “Zaman sekarang memang
susah cari pasangan yang bisa dipercaya, yang secara materi aman, dan
yang tidak memendam masalah lainnya. Modal cinta saja kan enggak cukup,
ya toh?”
Yang mau berwiraswasta juga mengeluh, tanpa modal, apa yang bisa
dilakukan? “Emang cukup modal dengkul dan niat doang? Berapa banyak sih
yang bisa jalan cuman dengan modal niat?” Begitu keluhannya, terutama
bagi calon wiraswastawan yang berstatus pegawai atau kebetulan minim
modal materi.
Sementara, yang mau menulis (entah artikel, buku, atau materi
tertulis apa pun) suka mengeluh, “Wah, saya enggak punya bakat deh!”
Yang lain bilang, “Enggak pede kalau tulisan dibaca orang lain!” Jadi,
ini soal hantu modal yang jadi penghambat; modal kepercayaan,
self-confidence, modal materi, modal bakat, dll.
Kedua, ada hantu perfeksionisme. Tak jarang orang yang hendak
memutuskan menempuh perkawinan terhalang oleh kekurangan-kekurangan yang
dimiliki sang pasangan. Kurang terbuka, kurang supel, kurang
pengertian, kurang tegas, kurang bertanggung jawab, kurang romantis,
kurang pendidikan, atau juga kurang modal dan persiapan.
Yang mau berwiraswasta juga sama saja, kadang menghendaki perencanaan
yang sesempurna mungkin demi menghilangkan kemungkinan gagal atau
merugi. Kadang, kesempurnaan juga ditunjukkan pada posisi menunggu waktu
yang paking tepat atau paling pas untuk berwiraswasta.
Nah, yang sedang belajar menulis juga begitu, takut berbuat kesalahan
dalam menulis. Oleh sebab itu, orang berusaha menulis sesempurna
mungkin dan mencoba menihilkan kekurangan sekecil apa pun. Hasilnya,
lebih banyak tulisan yang tidak jadi, atau lebih parah lagi, banyak
orang tidak jadi menulis. Dan, asal tahu saja, hantu perfeksionisme
inilah yang paling banyak menggagalkan usaha para orang pintar ketika
akan menuliskan gagasannya.
Ketiga, cengkeraman hantu risiko. Yang mau menikah takut risiko
kehilangan zona nyaman yang didapat dalam keluarga, takut suami atau
istrinya nanti menyeleweng, takut dipoligami, takut risiko gagal
membangun rumah tangga dan bercerai, termasuk takut tidak bisa merawat
dan menghidupi keluarga dengan baik. Intinya, takut ambil risiko dalam perkawinan.
Yang mau berwiraswasta juga takut setengah mati pada kerugian, takut
risiko usahanya tidak untung, takut risiko ditipu pegawai atau mitra
usaha, takut situasi krisis tidak juga mereda, takut dikejar-kejar
petugas pajak, dll.
Sementara yang belajar menulis juga sama takutnya dengan risiko bakal
dicela orang, takut tulisannya dinilai jelek atau tidak bermutu, takut
kredibilitasnya merosot kalau ketahuan tulisannya kurang bermutu, takut
menerima risiko kritikan, termasuk takut dimejahijaukan kalau tulisannya
dinilai memfitnah orang.
Nah, kalau masalahnya sudah terpetakan seperti itu, terus bagaimana
dong pemecahannya? Ya, sebelumnya saya tegaskan saya memang sudah
menikah tetapi bukan konsultan perkawinan. Saya pun sudah coba-coba dan
memang berwiraswasta, tetapi belumlah ada apa-apanya dibanding para
wiraswastawan hebat lainnya.
Satu-satunya yang saya anggap paling saya kuasai adalah soal
kepenulisan, utamanya nonfiksi. Jadi, izinkanlah saya melakukan
penyederhanaan-penyederhanaan yang—mohon maaf sebelumnya—apabila tidak
bisa dipertanggungjawabkan kualitasnya.
Jadi, kalau menurut analisis saya, ketiga “hantu” di atas
sesungguhnya bisa dikristalkan pada masalah risiko. Mau kawin ada
risikonya, mau wiraswasta ada risikonya, pun menulis pasti ada
risikonya. Ini mengingatkan saya pada statement Bob Sadino, “Orang hidup
saja ada risikonya, apalagi berbisnis…” (selengkapnya, baca di buku
terbaru saya ya, Bob Sadino: Orang Bilang Saya Gila!). Makanya, apa pun
yang kita lakukan maupun apa yang tidak kita lakukan sama saja, selalu
mengandung risiko.
Hanya saja, sebaiknya kita cukup fair dalam memandang risiko. Ada
risiko gagal, ada risiko berhasil, kan? Ada risiko buruk, ada juga
risiko baik, kan? Jadi, ketika menghadapi hantu-hantu dalam perkawinan,
wiraswasta, dan kepenulisan, usahakan bisa memiliki perspektif yang
seimbang. Nah, bagaimana caranya?
Sahabat saya, Alexandra Dewi, dalam buku ketiganya yang sebentar lagi
terbit menyatakan, “Kalau bertanya soal perkawinan, atau curhat soal
itu, ya jangan tanya sama orang yang belum pernah menikah, dong!”
Bob Sadino menyatakan, “Kalau mau berwiraswasta, jangan baca buku
tentang wiraswasta, dong! Apalagi kalau buku itu ditulis oleh orang yang
tidak pernah berwiraswasta.” Intinya, Bob menyarankan supaya orang
belajar dengan terjun langsung dan mengalami sendiri semua prosesnya.
Nah, kalau soal kepenulisan, saya sering sampaikan kepada para
penanya, “Hehehe… kalau tanya soal cerpen atau novel, lebih baik kepada
Gola Gong, Pipiet Senja, Asma Nadia, atau Naning Pranoto. Sebab, saya
ini penulis nonfiksi, yang masih saja tergagap-gagap dalam menikmati
karya fiksi.”
Anda menangkap maksud saya, bukan? Untuk mendapatkan preferensi
terbaik—yang bisa kita jadikan sebagai bahan atau landasan mengambil
keputusan dan bertindak—bertanyalah, berdiskusilah, atau belajarlah
kepada orang yang menguasai persoalannya. Orang yang kompeten karena
memang pernah mengalami, mendalami, belajar dari situ, dan memang hidup
di bidang tersebut.
Oke, Anda sudah memahami risikonya, sudah mengambil posisi pada
derajat mana risiko siap Anda tanggung, dan juga sudah mendapatkan
preferensi darfi sumber yang berkompeten. Selanjutnya, silakan melangkah
dengan lebih tenang diiringi dengan doa. Terima saja semua risikonya,
dan biarkan Tangan Tuhan ikut campur tangan dalam kehidupan Anda. Dan,
lihat saja hasilnya.
Selamat menulis, selamat berwiraswasta, dan selamat menempuh hidup baru hehehe….[ez]
[ Edy Zaqeus adalah penulis buku-buku bestseller, trainer dan
konsultan penulisan/penerbitan, dan seorang writer coach. Ia dapat
dihubungi melalui web: AndaLuarBiasa.com, BukuKenangan.com, atau blog
http://ezonwriting.wordpress.com]
_____________________________________
Minggu, 07 April 2013
Antara Perkawinan, Berwirausaha, dan Menulis
Label
Link Blog Sobat
1).Berry Blog




16.10
Unknown
Posted in: 















0 komentar:
Posting Komentar