“Kekuatan tidak terletak pada kemampuan membawa beban yang berat:
burung bangau atau derek bisa melakukan hal itu. Esensi kekuatan
ditemukan pada menjinakkan watak yang jelek serta amarah yang ada pada
dirimu.” - Muhammad SAW -
Ciptaan Tuhan yang paling efektif dan kuat adalah cinta. -Baha’ ad-Din, Ayah Mawlana Rumi -
Seorang wanita keluar rumah dan melihat tiga orang laki-laki tua
berjanggut putih lebat sedang duduk di depan halaman rumahnya. Dia tidak
mengenal mereka. Dia berkata, “Aku tidak mengenal kalian, aku rasa
kalian sedang lapar. Masuklah dan silahkan makan di dalam.” “Apakah
suamimu ada di rumah?”, tanya mereka. “Tidak”, wanita itu menjawab, “dia
sedang keluar.” “Kalau begitu kami tidak mau masuk”, jawab mereka.
Malamnya ketika sang suami sudah pulang, ia menceritakan apa yang
dialaminya tadi. “Beritahukan mereka kalau aku sudah pulang, dan
persilahkan mereka masuk.” Wanita itu segera keluar dan mengundang
ketiga laki-laki itu masuk. Tapi mereka berkata, “Kami tidak masuk
bersamaan ke dalam.” “Mengapa?” tanya si wanita. Salah satu dari
laki-laki tua itu menjelaskan, “Dia bernama Kaya,” sambil menunjuk salah
satu temannya, dan berkata sambil menunjuk temannya yang lain, “Dia
bernama Sukses, dan aku Cinta.” Kemudian dia menambahkan, “Masuklah dan
diskusikan dengan suamimu, siapa diantara kita yang kau inginkan di
dalam rumahmu.”
Wanita itu masuk ke dalam dan memberitahu suaminya. Sang suami sangat
gembira dan berkata, “Kalau begitu mari kita undang Kaya. Biarkan dia
masuk dan mengisi rumah kita dengan kekayaan!” Sang istri tidak setuju.
“Sayangku, kenapa tidak mengundang sukses?” Anak kecil mereka yang
mendengarkan pembicaraan mereka, bangkit dari tempat duduknya dan
memberikan pendapatnya, “Apakah tidak lebih baik kalau kita mengundang
Cinta? Rumah kita akan dipenuhi dengan Cinta!”
“Baiklah, kita laksanakan usul anak kita,” kata sang suami kepada
istrinya. “Pergilah keluar dan undanglah Cinta.” Si wanita pergi keluar
dan berkata kepada ketiga lelaki tua itu, “Siapa diantara kalian Cinta?
Silahkan masuk dan menjadi tamu kami.”
Cinta berdiri dan berjalan ke arah rumah. Kedua laki-laki yang lain
juga berdiri dan mengikutinya. Si wanita terkejut dan menanyai Kaya dan
Sukses, “Aku hanya mengundang Cinta, mengapa kalian masuk?” Keduanya
menjawab bersamaan, “Jika kau mengundang Kaya atau Sukses, kami berdua
akan tetap berada di luar, tetapi karena kau mengundang Cinta, kemana ia
pergi, kami selalu mengikutinya. Di mana ada Cinta, selalu ada Kaya dan
Sukses!”
Kisah yang saya dapatkan dari sebuah milis yang saya ikuti ini,
mengingatkan saya akan berbagai penelitian tentang kebahagiaan.
Penelitian mengenai kekayaan dan kesuksesan dalam hubungannya dengan
perasaan bahagia. Sebut saja David Myers. Myers menulis tentang sebuah
paradoks yang terjadi di Amerika. Kenapa? Karena kemajuan Amerika
sebagai Negara dunia pertama, dengan tingkat kekayaan yang melimpah
ternyata mengalami krisis kebahagiaan. Dan peningkatan krisis
kebahagiaan ini berbanding lurus dengan tingkat kekayaan dan kemakmuran.
Merupakan hal yang ironis bukan?
Di sisi yang lain, Dr. Paul Pearsall melakukan penelitian terhadap
orang-orang yang sukses. Telah ditemukan bahwa orang-orang sukses pun
ternyata menderita, dan sangat sedikit merasa bahagia. Kenapa bisa
demikian? David Myers pernah bercerita: Salah seorang mahasiswaku
menggambarkan penderitaannya setelah delapan tahun hidup dengan ibunya
dan ayah tirinya yang kaya tetapi suka melecehkannya: “Tidak perlu aku
katakan bahwa situasinya tidak menyenangkan. Memang … ia mengendarai BMW
dan baru saja membelikan untuknya Mercedes. Mereka memberi aku Mazda
626. Ia berbelanja di Bloomingdale dan memberikan untuknya jam Gucci.
Dalam setahun, ia memberiku kapal pesiar. Setelah itu ia membelikanku
selancar angin sendiri. Rumahku punya 2 VCR dan 3 televisi Hitachi.
Apakah semuanya itu membuatku bahagia? Sama sekali tidak. Aku ingin
menukarkan semua kekayaan keluargaku untuk kehidupan keluarga yang penuh
damai dan cinta kasih.”
Rasa bahagia ada cinta di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Banyak
orang bergerak dengan motivasi yang bersifat materialistis atau
mentalitas negatif. Mula-mula mendapatkan diri tidak memiliki yang
diinginkan, dan dengan keadaan yang terpuruk itu, muncullah sekian
impian untuk menggapainya. Baik itu dengan alasan kemiskinan keluarga
(khususnya pada seorang suami yang merasa harus membiayai kehidupan
istri dan anaknya) ataupun ingin membuktikan sesuatu kepada orang-orang
yang telah mengejek kita lantaran miskinnya dan tidak berguna.
Alasan-alasan di atas yang membuat kita bergerak dalam meraih
kekayaan dan kesuksesan tidaklah salah. Namun pertanyaan berikutnya
adalah: apa yang akan kita lakukan setelah mendapatkan semuanya?
Biasanya sih berujung pada pencarian kesenangan dan memuaskan
keinginan-keinginan. Jadi, pada awalnya hanya sekedar memenuhi kebutuhan
keluarga atau ingin membuktikan keberhasilan kita pada orang lain, tapi
berakhir pada “just for fun”. Inilah mungkin gambaran dari kisah di
atas, kalau kita memilih Kaya atau Sukses, maka Cinta tak akan pernah
ikut, sehingga kebahagiaan itu tak pernah diraih.
Pada sebuah training yang saya adakan pada bulan januari 2005 lalu,
saya mengangkat tema pertama dari tujuh hukum kebahagiaan, yaitu
momentum. Menurut saya, paling tidak, ada tujuh hal yang membuat kita
bisa meraih kebahagiaan. Saya menyebutnya juga dengan siklus 7. Karena
hidup ini adalah sebuah siklus, dimana kita bisa memilih ingin berada
pada siklus mana? Ke-7 siklus itu adalah: momentum, perubahan, identitas
diri, tujuan dan prioritas, pilihan, pelayanan, dan doa.
Kita telah menguraikan sedikit gambaran mengenai momentum, dan kita
coba membahasnya dengan lebih (sedikit) mendalam. Secara biologis,
manusia bisa memiliki fungsi yang tidak jauh berbeda dengan
hewan/binatang. Hanya postur organ tubuh saja yang memiliki perbedaan,
namun pada fungsi organ tubuh, hampir semuanya sama dengan hewan. Dan
terdapat satu ciri khas pada manusia dan hewan, yang membedakannya
dengan tumbuhan, yaitu kemampuan untuk bergerak/berpindah. Hal ini
pulalah yang menjadi pembeda antara manusia dan hewan. Secara sederhana,
dapat digambarkan dengan pertanyaan: kemana manusia akan bergerak?
Proses gerak yang dimaksud, tentunya, tidak hanya pada berpindah tempat,
karena hewan pun dapat berpindah tempat. Jadi, hanya ada satu
pengertian sederhana untuk defenisi gerak ini. Saya mendefenisikan gerak
di sini dengan: PROSES MENJADI (BEING).
Hidup ini bukan hanya sekedar makan, minum, dan memiliki tempat
tinggal. Namun, lebih dari itu, setiap manusia memiliki tujuan. Dan
untuk menggapai tujuan, maka terjadilah “proses menjadi” atau gerak pada
manusia. Anda ingin lulus PNS atau UMPTN, maka Anda harus “menjadi”
cerdas dan berwawasan luas, agar dapat menjawab soal-soal yang
diberikan. Walhasil, keberadaan tujuan meniscayakan sebuah proses gerak,
dan begitu pula sebaliknya, setiap melakukan proses gerak, maka harus
memiliki tujuan. Namun, tak semua manusia bergerak. Berdasarkan
penelitian, rata-rata pada umur 25 tahun kebanyakan manusia telah mati.
Secara sederhana, orang mati berarti tidak bisa bergerak. Ini berarti,
pada umur 25 tahun, kebanyakan manusia, tidak melakukan “proses menjadi”
dan pada akhirnya kehilangan arah/tujuan. Inilah salah satu faktor,
yang membuat manusia tidak merasakan kebahagiaan.
Oleh sebab itu, diperlukan momentum agar “proses menjadi” itu terus
berlanjut. Dalam fisika, momentum dapat didefenisikan (secara sederhana)
sebagai kekuatan penggerak. Dalam kehidupan nyata, kekuatan penggerak
(momentum) ini dapat saya artikan sebagai: ALASAN. Dapat disederhanakan
dengan pertanyaan berikut: apa alasan saya untuk melakukan sesuatu? Atau
apa alasan saya untuk hidup? Atau apa alasan saya untuk menggapai
tujuan-tujuan saya?
Seperti yang telah digambarkan di atas, kebanyakan orang (hanya)
memiliki alasan yang bersifat materialistis atau mentalitas negatif.
Seperti yang saya uraikan juga, hal tersebut tidaklah salah. Saya hanya
ingin mengajak untuk menggali lebih dalam, dan menemukan alasan yang
sangat kuat dibalik alasan-alasan di atas. Dan untuk itu, saya teringat
dengan tulisan dari Gede Prama. Saya akan mencoba mengutipkannya untuk
Anda:
Tidak ada satupun kata-kata yang bisa mewakili perasaan
jatuh cinta. Sebutlah kata senang, gembira, bahagia, bergetar,
berdebar, takut kehilangan, cemburu, ingin selalu bersama,
semua terlihat bersinar dan menyenangkan, tetap saja tidak bisa
mewakili seluruh nuansa jatuh cinta. Inilah rangkaian hal yang
membuat cinta diidentikkan dengan perasaan (feeling).
Ada dimensi kedua dari cinta yang layak dicermati setelah
cinta sebagai perasaan, yakni cinta sebagai sebuah kekuatan
(power). Coba perhatikan pengalaman jatuh cinta kita masing-masing.
Ada kekuatan maha dahsyat yang ada di dalam diri, yang
membuat badan dan jiwa ini demikian perkasanya. Seolah-olah
disuruh memindahkan gunung pun rasanya bisa. Hampir tidak ada
penugasan dari lawan jenis yang kita cintai, yang tidak bisa
diselesaikan. Mulut ini seperti dengan cepatnya berteriak: bisa!
Bermula dari pemahaman seperti inilah, maka Deepak
Chopra dalam The Path To Love, menyebut bahwa jatuh cinta
adalah sebuah kejadian spiritual. Ia tidak semata-mata
bertemunya dua hati yang cocok kemudian menghasilkan jantung
yang berdebar-debar. Ia adalah tanda-tanda hadirnya sebuah
kekuatan yang dahsyat. Persoalannya kemudian, untuk apa
kekuatan dahsyat tadi dilakukan.
Seperti yang dituturkan oleh Gede Prama, saya pun sepakat bahwa
kekuatan penggerak (momentum) itu adalah: CINTA. Setelah kita memiliki
cinta, lantas bagaimana memperlakukannya dalam kehidupan sehari-hari?
Atau seperti kata Gede Prama, “Untuk apa kekuatan dahsyat tadi
dilakukan?
Dalam training momentum (saya sudah menjelaskannya di atas), saya
membawa cinta itu, sebagai kekuatan penggerak, ke arah orang tua. Saya
menyatakannya seperti ini: Apa yang Anda persembahkan kepada kedua orang
tua Anda? Keinginan mempersembahkan yang terbaik itu, memberikan
kekuatan untuk menggapai tujuan-tujuan hidup. Kalau kita simak dengan
lebih dalam, secara umum, cinta itu bukan hanya mempersembahkan kepada
kedua orang tua, tapi kepada siapa saja. Di sinilah arti penting dari
MEMBERI.
Dalam kehidupan, seolah-olah, terjadi dualisme. Ada terang dan gelap,
hidup dan mati, begitu juga dengan memberi dan menerima. Namun pada
dasarnya, yang ada hanya ketunggalan saja. Misalkan, terang dan gelap.
Yang ada hanyalah terang. Gelap itu pada dasarnya tidak ada, karena
gelap hanya terjadi sebagai akibat (konsekuensi) dari adanya terang.
Kalau kita bertanya: adakah sumber terang? Mungkin kita menjawab, “lampu
atau matahari”. Namun, jika kita tanyakan: adakah sumber gelap? Maka
jawaban tidak akan pernah ditemukan, karena gelap terjadi ketika kita
menjauh dari sumber terang. Inilah yang dalam filsafat disebut sebagai
substansi dan aksident, dimana terang adalah substansi dan gelap adalah
aksident (konsekuensi dari adanya terang). Maka begitu pula pada
“memberi” dan “menerima”. Pada dasarnya “menerima” itu tidak ada. Karena
“menerima” hanya terjadi jika kita telah “memberi” terlebih dahulu.
Marilah kita simak (kembali) tulisan Gede Prama yang lain:
Mari kita amati lebih dalam tentang orang-orang yang
sedang jatuh cinta ini. Orang yang sedang jatuh cinta ternyata
berpikiran positif. Semua dilihat secara positif. Serba optimis,
serba menyenangkan, mudah menerima. Sebuah taman yang
biasa-biasa saja pun terlihat bak firdaus.
Kita pun menemukan energi yang luar biasa. Energi untuk
diberikan pada orang lain. Energi untuk berkreasi, berproduksi,
bahkan energi untuk berkorban bagi orang yang dicintainya.
Sekarang mari kita amati pengalaman pribadi kita sendiri.
Saat kita bertemu dengan orang yang mengarahkan kita dengan
hati mereka – orang tua, guru, dosen favorit, atasan, dan
sebagainya. Apa yang kita lakukan untuk mereka? Kita beri apa
yang mereka minta dengan senang hati. Kita lakukan apa yang
mereka minta tanpa syarat. Tanpa menggugat, tanpa memikirkan
apakah yang akan kita dapat sebagai imbalannya. Memberi cinta
akan mendapat cinta. Memberi hati, akan mendapatkan yang sama.
Jadi, Anda tak akan mungkin “menerima”, jika tidak terlebih dahulu
“memberi”. Dan kekuatan “memberi” itu adalah kekuatan cinta, yang penuh
ketulusan dan keikhlasan. Dengan melakukan hal ini, maka tanpa Anda
harapkan dan meminta sekalipun, maka “penerimaan” akan selalu Anda
dapatkan, karena (sekali lagi) “menerima” adalah konsekuensi dari
“memberi”.
Walhasil, alasan kuat (momentum) untuk bergerak (proses menjadi)
adalah cinta. Dan cinta ini merupakan landasan dari “memberi”. Alasan
kuat inilah yang pada akhirnya akan melahirkan komitmen untuk berbuat.
Nah, kalau kita perhatikan alasan-alasan yang telah kita sebutkan pada
awal-awal pembahasan kita (misalnya: membuktikan diri kepada orang lain
atau memberikan nafkah kepada keluarga, inipun merupakan persembahan
juga), semuanya haruslah memiliki landasan cinta untuk memberi. Hal ini
pun senada dengan perkataan Ali bin Abi Thalib, “Carilah rejeki dengan
bersedekah”. Atau perkataan Rasulullah saw, “Orang yang paling mulia
adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.”
Saya tertarik untuk mengakhiri pembahasan kita ini dengan kisah berikut:
Di kota Samarkand suatu ketika hiduplah seorang pembawa air yang
bersumpah: apa yang dia dapat setiap hari Jumat, dia akan memberikannya
kepada kaum miskin, demi ruh ibu dan ayahnya. Lebih jauh, dia akan
berdoa demi pengampunan dosa bagi kaum miskin setelah shalat lima waktu.
Sekian lama dia menjalani komitmen ini, tetapi suatu Jumat dia tidak
memperoleh uang, sehingga ia tidak bisa memberi apa-apa pada kaum
miskin.
Dia pergi dan bertanya pada seorang yang bijak tentang apa yang
seharusnya dia lakukan. Orang itu berkata, “Anakku, kumpulkan kulit dan
air dari buah melon. Berikan semuanya pada binatang, kemudian mintalah
imbalan spiritual bagi tindakanmu untuk ibu dan ayahmu. Janjimu itu
dengan begitu akan terpenuhi”.
Pembawa air itu melakukan apa yang dikatakan orang bijak itu.
Dinihari itu ia melihat ibu dan ayahnya dalam sebuah mimpi. “Semoga
Tuhan ridho denganmu!” mereka berteriak. “Engkau terbiasa memberi kami
hadiah setiap Jumat, dan sekarang malam Jumat ini, kami menerima sebagai
pemberian Tuhan berupa melon dan air buah melon dari surga”.
*) Syahril Syam adalah seorang berlisensi NLP dan certified Hypnotherapist. Beliau juga adalah seorang konsultan, terapis, public speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Ia memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Ia juga adalah penulis buku best seller The Secret of Attractor Factor. Teman-temannya sering memanggilnya sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril@trainersclub.or.id
0 komentar:
Posting Komentar