Hampir semua kenakalan remaja terjadi karena mereka merasa kurang diperhatikan dan disayangi oleh orang tua mereka. (Syahril Syam)
Apa yang menyebabkan kebanyakan siswa tidak menyukai belajar? Atau
tidak menyukai mata pelajaran tertentu, bahkan semua mata pelajaran?
Jika pertanyaan ini kita tanyakan kembali pada orang-orang tua, sewaktu
mereka masih belajar dulu, apakah masih pantas? Dengan kata lain,
kebanyakan orang-orang tua pun tidak menyukai belajar, bukan hanya
semasa sekolah dulu, mungkin masih sampai sekarang.
Lantas, apa yang menjadi penyebabnya? Peter Kline mengemukakan sebuah
pernyataan menarik: Belajar Akan Efektif Jika Dilakukan Dalam Suasana
Menyenangkan. Ini berarti, kegiatan belajar-mengajar akan membosankan
dan tidak menarik, kalau tidak tercipta suasana yang menyenangkan. Dari
sini dapat kita telusuri lagi dengan sebuah pertanyaan: Kenapa suasana
belajar tersebut tidak menyenangkan? Atau kenapa sebuah mata pelajaran
bahkan semua itu tidak menarik dan tidak menyenangkan? Buckminster
Fuller memberikan jawabannya. Kata beliau, “Setiap anak terlahir jenius,
tetapi kita memupuskan kejeniusan mereka dalam enam bulan pertama.”
Lho, kok bisa demikian? Bukankah setiap orang tua menginginkan anaknya
itu jenius. Lantas apa sebabnya?
Dalam buku The 10 Basic Principles of Good Parenting,
Laurence Steinberg menulis tentang sepuluh prinsip dasar dalam mengasuh
anak. Pada prinsip yang kedua berbunyi: Anda Tak Bisa Terlalu Mencintai.
Prinsip ini banyak dipakai oleh kebanyakan orang. Arti prinsip ini
adalah: Anda tak boleh terlalu mencurahkan kasih sayang pada anak,
karena hal itu akan membuat dirinya menjadi manja, dan nanti akan sulit
diatur. Menurut Steinberg, ini adalah pengasuhan “aliran keras”.
Padahal dalam penelitian ilmiah yang dilakukan dibidang psikologi dan
neurosains menunjukkan sebaliknya. Anda tak perlu ragu dalam
menunjukkan kasih sayang kepada anak. “Jika anak merasa benar-benar
dicintai, mereka mengembangkan rasa aman yang kuat sehingga tidak lagi
terlalu menuntut. Sebagai hasilnya, orang dewasa yang paling besar
kebutuhan emosionalnya adalah mereka yang tidak menerima cukup cinta
orangtua saat kecil atau yang cinta orangtuanya kurang konsisten atau
kurang tulus. Orang dewasa tersehat, dan mereka yang mampu mengungkapkan
cinta mereka pada orang lain, pastilah mereka yang tumbuh dengan
perasaan dicintai secara penuh dan tanpa syarat oleh orangtuanya, bukan
mereka yang dipaksa menerima kasih sayang yang kurang lengkap”, demikian
ungkap Steinberg.
Ini berarti, bayi belajar paling baik dalam sebuah kondisi ideal,
dengan kasih sayang, kehangatan, dorongan, dan dukungan. Bila sikap yang
sama berlanjut di sekolah, kecepatan dan kesenangan belajar tadi akan
terus berlanjut.
Mari kita lihat lagi, penemuan tak sengaja oleh Harry Balkwin. Beliau
menemukan hal yang menakjubkan di Rumah Sakit Bellevue tahun 1931.
Semula, sebagaimana kebiasaan rumah sakit waktu itu, bayi dilarang
disentuh karena alasan higienis. Balkwin menghapuskan larangan itu dan
menyuruh para perawat menyentuh dan menggendong bayi. Ajaib, tingkat
infeksi menurun dengan drastis. Sebetulnya bukan sentuhan itu sendiri
yang menyembuhkan tetapi rasa bahagia dan cinta yang dirasakan oleh
bayi-bayi kecil itu.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa, terciptanya rasa bahagia sangat
penting, bukan saja terhadap perkembangan fisik anak, tapi juga terhadap
perkembangan otak dan emosi anak. Gordon Dryden dan Jeannette Vos
mengatakan, “Dalam setiap sistem yang terbukti berhasil – yang kami
pelajari di seluruh dunia – citra diri ternyata lebih penting daripada
materi pelajaran”. Citra diri yang positif menunjukkan bahwa suasana
menyenangkan akan melahirkan optimisme dalam belajar. Selama ini,
kebanyakan dari kita terperangkap oleh keyakinan lama dalam mendidik
anak, sehingga pertumbuhan emosi anak dalam masa pertumbuhannya
terganggu.
Hal inilah yang melahirkan sikap pesimis atau tidak percaya diri
dalam belajar, yang melahirkan keengganan untuk memulai suatu pelajaran.
Dengan kata lain, kehilangan perasaan bahagia. Coba perhatikan
penelitian berikut ini:
Ahli psikologi Al Siebert menjadi berminat pada kepribadian
orang-orang yang bertahan hidup ketika ia bergabung dengan pasukan
payung setelah baru lulus dari pendidikan tingginya pada tahun 1953.
Kelompok latihannya terdiri atas beberapa orang yang bertahan hidup dari
sebuah unit yang bisa dibilang musnah di Korea. Ia menemukan bahwa
veteran-veteran ini ulet tetapi lebih sabar daripada yang diduganya.
Dalam menanggapi kesalahan, mereka biasanya menjadikannya sebagai
lelucon bukannya menjadi marah.
Yang lebih penting, tulis Siebert, “Saya mengamati bahwa mereka
mempunyai kesadaran yang santai. Mereka masing-masing tampaknya
mempunyai semacam radar pribadi yang terus-menerus melacak.” Ia
menyadari bahwa bukan hanya nasib mujur yang membuat orang-orang ini
mampu mengatasi nasib buruk.
Sepanjang karirnya, Siebert secara kontinyu mengamati mereka yang
bertahan hidup. Ia menemukan bahwa salah satu karakteristik mereka yang
paling menonjol adalah kompleksitas karakter, suatu paduan dari banyak
sifat yang berlawanan yang disebutnya sifat bifasik (berfase dua).
Mereka itu serius sekaligus suka melucu, keras sekaligus lembut, logis
sekaligus intuitif, suka bekerja keras sekaligus pemalas, pemalu
sekaligus agresif, introspektif sekaligus suka bergaul, dan seterusnya.
Mereka adalah orang-orang yang penuh pertentangan yang tidak bisa
dimasukkan ke dalam kategori-kategori psikologis yang lazim. Ini membuat
mereka lebih luwes daripada kebanyakan orang, dengan serangkaian
sumber-sumber yang lebih luas yang dapat mereka manfaatkan.
Melalui penelitian panjang, Siebert menemukan bahwa mereka yang
bertahan itu mempunyai hierarki kebutuhan dan bahwa, berbeda dengan
kebanyakan orang, mereka mengejar semua kebutuhan itu. Di mulai dari
kebutuhan yang paling dasar, kebutuhan-kebutuhan itu adalah:
kelangsungan hidup, rasa aman, penerimaan oleh orang lain, harga diri,
dan aktualisasi diri. Namun, salah satu kebutuhan utama yang membedakan
mereka dari orang-orang lain adalah lebih dari aktualisasi diri:
kebutuhan akan sinergi. Siebert mendefenisikan kebutuhan akan sinergi
itu sebagai kebutuhan untuk membuat segala sesuatunya berjalan lancar
bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Oleh karena itu, mereka yang
bertahan hidup bertindak bukan atas kepentingannya sendiri saja
melainkan juga atas kepentingan orang lain, bahkan dalam situasi yang
sangat membuat stres. Kadang-kadang mereka tampak tidak terlibat, tetapi
mereka adalah “sahabat dalam keadaan yang buruk”. Mereka muncul apabila
timbul masalah. Orang-orang seperti ini, biasanya, menafsirkan masalah
sebagai pengarahan ulang, bukan kegagalan.
Dengan melihat penelitian Siebert ini, memberi pemahaman kepada kita
untuk selalu optimis dalam hidup dan senantiasa tidak mementingkan diri
sendiri, apalagi jika ada sebuah masalah yang dihadapi. Sebagai penutup,
saya ingin menceritakan kepada Anda sebuah pengalaman nyata yang
dilakukan oleh seorang kepala sekolah:
Ketika Dr. Dan Yunk datang menjabat sebagai kepala sekolah baru di SD
Northview di Manhattan, Kansas, pada 1983, dia mendapati rendahnya
nilai ujian, lemahnya disiplin, dan loyonya staf pengajar. Tujuh tahun
kemudian, seorang kru televisi PBS menemukan perubahan mendasar dalam
hal lingkungan dan hasil belajar. Anak-anak kelas empat belajar
pembagian dengan memotong-motong pizza; belajar bahasa Spanyol sambil
bernyanyi; belajar sejarah Amerika melalui permainan dan lagu. Anak-anak
kelas empat itu dipasangkan dengan murid TK, mereka bertindak sebagai
guru, dan menggunakan kata-kata tertulis menjadi cerita untuk anak umur
lima tahun.
Anak-anak aktif di gedung olahraga sejak pukul 7 pagi. Di kelas,
guru-guru melayani seluruh gaya belajar mereka: dengan melibatkan
penglihatan, pengucapan, dan tindakan; sebuah sekolah yang memungkinkan
kebanyakan muridnya bermain alat musik, dan kurikulumnya diperkaya
dengan seni. Dengan cara kerja yang mungkin sulit dimengerti oleh
kebanyakan guru di negara-negera lain, pada 1983 Yunk menemukan bahwa
guru-guru “dalam 20 tahun tidak pernah bertukar ruang kelas”. Lalu dia
menetapkan norma kerjasama antarguru.
Ketika dia datang pertama kali, “orangtua tidak menyukai dirinya.
Sekarang mereka bertindak sebagai tutor, pembantu, dan mentor; bahkan
salah satunya menjadi ketua klub komputer”. Dari semua sekolah dasar di
negara bagian itu pada 1983, hanya sepertiga dari anak kelas empat di SD
Northview yang meraih tingkat kompetensi yang diharapkan. Pada 1990: 97
persen – di tiga persen teratas. Dan di beberapa daerah, di atas satu
persen teratas. Resep keberhasilan Yunk? Sama seperti Bill Hewlett dan
Dave Packard di dunia bisnis: Manajemen Kebersamaan”. “Berdayakan para
siswa, orangtua, dan guru, mereka harus merasa ikut memiliki.”
*) Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, public speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Ia memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Ia juga adalah penulis buku best seller The Secret of Attractor Factor. Teman-temannya sering memanggilnya sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril@trainersclub.or.id




12.10
Unknown
Posted in: 















0 komentar:
Posting Komentar